1.5M ratings
277k ratings

See, that’s what the app is perfect for.

Sounds perfect Wahhhh, I don’t wanna

272

Aku baru tahu bahwa

jatuh cinta bisa setiap hari.

Setiap pagi.

Dan setiap petang pergi.

Dan juga setiap kali

wajahmu kupandangi.

Bumi sudah separuh jalan

mengelilingi matahari

sejak kau dan aku

bertalian menjadi satu,

bahkan sudah lebih lama lagi

sejak awal mula bertemu.

Tetapi perasaanku hanya tahu

cara naik tinggi,

cara bertambah setiap hari,

tidak pernah menjadi jemu,

tidak juga bosan.

Tidak ada ruang sedikit pun

untuk penyesalan.

Kau adalah ikrar terbaikku

sepanjang kehidupan, dan semoga

selamanya demikian.

Selamanya aku

menjadi penghujung pelukmu

dan kau menjelma dekapku.

Setiap hari.

Setiap petang dan pagi.

Bersama-sama berdamai

dengan perangai dunia

yang mulai terus terang, sembari

menyusun detik yang tidak lupa

dengan penuh hati-hati.

Atas nama sisa umurku, sayang,

terima kasih sudah mau

bertahan sepanjang usia.

Terima kasih sudah menjadi

doa-doa nyata.

Tulungagung, mula purnama April.

270

Aku dibuatnya terjaga sampai sebelum surya.

Sejak perjumpaan pertama, sejak kehendak mengalir hingga kekosongan datang menjemput keruhnya pagi. Kamar tidur menjadi tempat yang tersisih akhir-akhir ini; sebab dirimu, dan sebab pikiranku mengalun dalam kilasan-kilasan yang tak bertemu. Burung-burung mencari sarang yang lenyap dihisap kabut masa, sedang di ruang langit yang lain aku meraba-raba gelap dengan harap yang redup-nyala.

Kita sejenak berbicara dengan kata-kata yang tersenyum, dengan lebih banyak bahasa diam dan hanya wajah yang bercerita. Memang betul dunia sempat berhenti berputar, ketika aku dengan kikuk memalingkan bola mata yang tak sengaja bersaing dengan garis pandangmu. Sejak saat itu pula aku menyalahkanmu sebab aku kehilangan kata segala. Hanya ada kita yang terperangkap dalam dimensi tiada.

Bumi berotasi satu kali dan detak jantung masih beradu dentum dengan isi kepala, memekik aku-aku-aku, mengikuti hembusan napas yang terpahat dalam rongga waktu. Aku sekilas lupa rupamu namun ada bayangan dalam khayal yang menari-nari, meski dalam cerminan kabur yang sukar dimengerti. Setiap detik adalah permata, dan aku ingin kau tetap hadir disana meski alpa. Setapak tempat aku berlari kukerat dengan tergesa-gesa, erat-erat kugenggamnya tanpa hendak berbalik arah dan melangkah lagi pada jejak takdir yang tertunda.

Aku dibuatnya terjaga sampai pagi buta, dan aku tak mengapa. Sebab dalam keberterimaan hati, dan dalam kesadaran yang kuserap sejauh jatuh dan sepanjang pergi;

aku hanya ingin memelukmu dengan nanti.

prosa puisi

269

Mereka berkata,

“Kau jangan terlalu kikir

dengan diri sendiri.

Belilah kebahagiaan untuk

dinikmati sesekali.”

Mereka mana tahu bahwa

bahagiaku impas terbayar

angka-angka tak seberapa

yang kuselipkan sebarang waktu

seiring permohonan doa yang

setiap hari, yang setiap itu juga

dibalas doa-doa terpuji

dan, “Simpan lebih banyak

untukmu sendiri. Jangan

terlalu memikirkan kami.”

Yang aku berujar menolak,

“Aku hidup enak,“

meskipun sebetulnya tidak.

Atas nama putih rambut bapakku

dan usia yang terlipat di kening ibu,

makan nasi kemarin pun

aku mau.

268

Abah & Umik.

They are the only two people who when I look into their faces, it always makes me want to tear up. Man, they are both getting old. And they still have not lived their life to the fullest of comfort and happiness as they deserve. Even death could take them at any moment. Knowing that alone could bring tears to my eyes at any moment. I have not treated them yet with enough kindness and respects. While I’m here, existing, and still living as a burden to the two of them.

May I ask you, O Allah, to fill the rest of their lives with happiness? I would be so happy even if it had to take away all my happiness—apart from just knowing they are living happily. I would be so happy even if that will be my only happiness.

267

Hidayah itu mahal, saudaraku. Ia tak untuk ditunggu, namun tak untuk dijemput jua. Ia hanya diberikan kepada yang berhak dan pantas—ia hanya diberikan kepada hati-hati yang mau menerima.

Hidayah itu mahal, saudaraku. Maka ketika terbesit dalam hati untuk berubah, sungguh berbahagialah! Jangan menunda-nunda, dan bersegeralah. Allah Maha Tahu atas segala hamba-hamba-Nya yang hendak berserah.

Hidayah itu mahal, saudaraku. Sungguh kebanyakan manusia memilih tertatih-tatih, menerka-nerka dan meraba dalam gelap gulita. Padahal dalam melangkah, tentu akan lebih mudah tatkala kita berada di bawah terangnya cahaya.

Hidayah itu mahal, saudaraku. Genggam erat-erat dan jangan berhenti. Sebab jika Allah berkehendak untuk mencabutnya dari sanubari, tentu rasa kehilangannya tak akan terpikirkan lagi—bahkan tak sempat untuk sekadar kita tangisi.

266

We don’t control our destiny, no, we never do.

It’s good for me. It’s good for them. It’s always good for every single one of us.

We work on something, we pray for that to happen, then accept whatever the result is as it is. Know that Allah has truly determined the best for everyone. So whatever happens, happens. Nothing to be sad about. We don’t blame fate for things that don’t go our way, do we? It never asks what we want it to be, anyway, and it doesn’t need to.

We move on to other matters, for the past has passed.

Life doesn’t end with changing our plans, failing our choices, not achieving our desires, no, it does not. It only ends with our souls being taken away, though it was more like the beginning of everything. As long as we still haven’t breathed our last, we can still change some plans. We can fail more choices.

And perhaps we can achieve further goals.

263

Dari berjuta-juta pengalaman sakit hati, aku rasa separuhnya datang dari kebaikan orang lain kepadaku. Aneh? Kupikir juga begitu. Tapi sebentar, dengarkan dulu. Barangkali kamu setuju.

Tentu saja berlaku baik itu tidak pernah salah. Namanya juga berlaku baik. Lagi pula siapa aku menyalah-nyalahkan. Hanya saja selama ini aku kesulitan untuk tidak berlebihan mengartikan kebaikan-kebaikan itu dengan sewajarnya. Dari awal aku tak pernah bermaksud mengecilkan niat siapapun yang bersikap baik kepadaku. Sumpah. Sejak dahulu sekalipun, orang-orang baik kan, memang selalu ada. Berlaku baik bahkan mendapat tempat istimewa di dalam ajaran agama, meskipun, yah, aku tak pernah tahu apakah berlaku pula untuk keadaan dimana kebaikan itu menjadi terlalu.

Tentu saja terlalu disini diukur olehku sendiri, alias sakit-sakit hati itu aku juga yang cari. Siapa suruh membatasi kebaikan yang datang. Jadi kelanjutan ceritanya selalu mudah ditebak: aku seperti menyakiti diri sendiri. Eh, tapi ini bukan salah mereka, kok. Ini salahku sendiri. Betulan.

Tetapi alih-alih menjadi kebaikan yang saling, kadang-kadang terlalu baik malah menimbulkan perasaan yang tidak seharusnya. Ini yang kadang membuatku tak nyaman menerima kebaikan orang lain. Tentu saja demikian, sebab tak semua orang memaknai banyak kebaikan yang ia terima dengan bahasa yang sama. Sebagian mengartikannya sebagai kebaikan seperti pada umumnya, sebagian sisanya mengartikannya dengan yang lain-lain. Jujur geli sih menyebutnya, tapi misalnya, cinta.

Aku, sayangnya, seringkali adalah satu dari sebagian sisanya.